Dystopia. Sebuah gambaran masa depan yang tidak
diinginkan oleh siapapun. Dimana masa depan yang cerah, masa depan yang
menjanjikan, masa depan yang lebih baik, tak akan pernah terwujud. Dunia dimana
harapan tidak pernah ada. Hanya ada perasaan gelap dan dingin.
Tuhan telah meninggalkan dunia ini. Semua orang mengatakannya.
Berkali-kali. Hingga hanya kata-kata itu yang terngiang dikepala setiap orang.
Hanya kata-kata itu yang terekam dalam benak mereka. Hingga, tak ada yang bisa
mereka percayai. Siapapun dan apapun.
Kau
percaya dunia semacam itu?
Inilah
dunia yang harus kupercayai. Dunia yang harus kami tempati dan tinggali. Mau
tidak mau. Terpaksa sekalipun, hidup, adalah satu-satunya hal yang harus kami
jalani.
***
“Kak, mana mungkin aku kenyang kalo makan ini
doang!”
“Heh, kamu itu engga bisa lihat kondisi
sekarang ya! Kalau yang ada hanya roti, terima saja. Bersyukur kamu masih
mendapatkan roti itu!”
“Maria... Kamu tahu, bahkan Hayato belum
makan apa-apa sejak tadi malam. Yang terakhir ia makan hanyalah setengah gelas
minuman sereal.”
Sembari
diingatkan hal tersebut, Maria digiring menjauh dari kakak laki-lakinya agar
kata-kata tersebut tak terdengar olehnya.
“...Tapi...” Maria menggenggam roti
ditangannya lebih erat. Ia tahu betul bila satu-satunya kakak laki-laki yang ia
miliki itu, hanya minum setengah gelas minuman sereal tadi malam, sedangkan
dirinya mendapatkan segelas minuman sereal hangat, begitu juga kakak perempuan
yang mengingatkannya akan hal tersebut. Hayato mengabaikan rasa laparnya demi
adik-adiknya.
“Chloe, tolong ambilkan obeng yang disana.”
“A-ah! Baik.”
Chloe mengisyaratkan pada Maria untuk duduk
ditempatnya berada sekarang dan segera meninggalkan Maria. Terlihat kakak
laki-lakinya sedang sibuk memperbaiki sebuah mobil yang mereka temukan
terbengkalai dipinggir jalan. Dengan sigap, Chloe mencari barang yang diminta
oleh Hayato, kakaknya yang usianya hanya terpaut 2 tahun dengannya. Chloe
mencari benda tersebut di kotak perkakas yang berada di sebelah ban belakang
mobil tersebut.
“Hayato, I-ini!” Chloe menyodorkan obeng
tersebut ke bagian bawah mobil agar Hayato mudah meraihnya, segera setelah ia
menemukan barang yang ia cari.
“Ah, terima kasih.” Setelah mengambil obeng
dari tangan Chloe, Hayato, yang baju dan mukanya kotor sekali karena terkena
cipratan oli, kembali terfokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Sesekali
Chloe membantu Hayato mengembalikan beberapa barang yang sudah tak digunakannya.
Sedangkan Maria sedang menghabiskan rotinya sedikit demi sedikit sembari
memperhatikan kedua kakaknya tersebut.
Maria ingin sekali membantu, tapi...
“Tapi... apa yang bisa aku lakukan ya?”
Gumamnya sembari menatap bagian bawah alat geraknya, namun tak nampak kaki kanannya dari balik rok. Maria juga menatap tongkat yang membantunya berjalan.
Sama seperti kakak-kakaknya, Maria sudah
merasakan penderitaan ini sejak kecil. Ia bahkan tak ingat wajah orangtuanya,
karena kata Hayato, mereka meninggal ketika Maria baru saja lahir. Sedangkan
Hayato dan Chloe masing-masing berumur 18 tahun dan 16 tahun ketika itu. Tak
pernah sekalipun ia memiliki memori dengan orangtuanya. Kadang, itu membuat
Maria sedih. Tapi ia sangat bersyukur memiliki kakak sebaik Hayato dan Chloe.
Mereka berdua selalu menjaga Maria, mendampinginya, merawatnya, membesarkannya,
mengajaknya bermain, dan mengajarinya banyak hal. Bahkan mereka rela
mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melindungi Maria. Hampir setiap hari, Maria
dan kedua kakaknya harus berpindah-pindah tempat beristirahat agar dapat
melindungi diri mereka. Kondisi ini nampak tak berbeda jauh dengan Perang Dunia
II yang pernah ia baca dibuku hasil temuannya dijalanan. Walau Maria sangat
lelah dengan semua yang terjadi padanya, apalagi karena kondisi fisiknya yang
tidak sempurna, Maria mau tidak mau harus menerima takdirnya.
Tanpa
disadari, Maria meneteskan air matanya. Sekarang Maria sudah berumur 10 tahun.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Tidak ada satu hari pun bagi Maria
untuk tidak merasakan kehangatan kedua orang yang sangat ia sayangi tersebut.
Ia mengingat-ingat kembali kejadian-kejadian yang telah ia alami bersama kedua
kakaknya sepanjang hidupnya. Walaupun semuanya terlihat menyeramkan, tapi
selalu ada Hayato dan Chloe dalam ingatannya. Mungkin itulah alasan yang
membuat Maria menangis sekarang. Maria mencoba lebih kuat dan berguna bagi
mereka, tapi ia selalu gagal dan dikalahkan oleh egonya sendiri. Ia kadang
menyalahkan dirinya sendiri karena memiliki kondisi fisik yang malah merepotkan
kedua kakaknya. Sudah merepotkan, tidak
bisa apa-apa pula. Mungkin aku tidak sepantasnya hidup...
“Bocah
macam kamu itu tahu apa sih? Gak usah nangis-nangis gitu deh, alay.” Bersamaan
dengan kata-kata tersebut, sesuatu menyentuh pipi Maria yang sedikit basah
karena air matanya. Setelah sesuatu yang menyentuh pipinya itu beranjak, Maria
segera memegangi pipinya. Ada oli yang menempel diwajahnya, karena ketika ia
memegang pipinya, oli tersebut menempel juga pada jari tangannya.
“Hei!
Apa yang kau lakukan?! Ini menjijikan!” Maria mencoba memukul dengan tangan
kanannya dan segera menengadah ke atas untuk memelototi kakak laki-lakinya.
Hayato membalas memelototinya. Maria menjadi takut. Ia takut kakaknya tersebut
marah, dan akhirnya meninggalkannya.
Namun
ia mendapat respon yang lain. Sesaat setelah Maria berhenti menatapi Hayato, ia
justru segera tersenyum pada Maria dan segera menggendong Maria.
“Kamu
bosan hidup ya? Ya sudah kalau begitu, aku tinggal kau disini saja. Sampai
jumpa.” Hayato menurunkan Maria dan segera berjalan menjauh menuju mobil yang
nampaknya sudah berhasil diperbaikinya sembari melambaikan tangannya. Nampak
didalam mobil, Chloe sudah duduk manis dikursi sebelah pengemudi, namun dengan
wajah yang khawatir. Maria yang mulai paham dengan kondisi sekarang, segera mengambil
tongkat berjalannya, dan mencoba berjalan cepat untuk meraih tangan Hayato dan
berjalan disampingnya.
“Aku
senang jalan-jalan berkeliling kota, kok!” Maria menengadah dan tersenyum
sembari mengatakan hal tersebut. Hayato membalas senyuman Maria dan tiba-tiba
mengambil tongkat berjalan Maria dan segera mengangkat tubuh kecilnya untuk
hinggap dipunggung Hayato. Segera setelahnya, Hayato berlari dengan cepat
sehingga Maria tertawa girang dibuatnya.
Didunia
dimana langit tertutup awan, cahaya matahari hampir tak nampak, Maria masih
merasakan kehangatan yang melebihi kehangatan sinar sang surya, yaitu terus
bersama dengan kakak-kakaknya walau dalam keadaan dunia yang seperti ini.
Mobil
pun mulai berjalan meninggalkan kota yang telah ia tinggali selama seminggu
tersebut.
Ternyata, aku sudah menemukan sebuah ‘Utopia’
dalam ‘Dystopia’ ini sejak lama. Pikir Maria.